Halaman

RINERLIS SITUMORANG

Minggu, 11 Desember 2011

Teori Belajar Behavioristik


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Teori belajar Behavavioristik lahir sebagai upaya untuk menyempurnakan dua perspektif yang telah berlaku di awal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologi funfsionalis dari Dewey.
Perspektif strukturalis percaya akan perlunya penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia. Oleh karenanya, kaum strukturalis tidak percaya pada penelitian-penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan kepada manusia, terutama tentang cara kerja otak manusia. Para strukturalis kemudian menggunakan alat “ instrospeksi “ laporan diri (self – report) tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia. Namun alat tersebut dikritik oleh banyak kalangan karena menghasilkan data dan informasi yang sama sekali tidask konsisten sehingga tidak dapat dipercaya.
Jika perspektif sturkturalis cenderung berwawasan sangat sempit (mikro) maka psikologi fungsionalis sebaliknya berwawasan sangat luas (makro). Para ahli psikologi fungsionalis menyatakan perlu adanya kajian tentang perilaku, selain kajian tentang fungsdi proses mental, dan hubungan antara proses mental dan tubuh manusia. Namun demikian, justru dengan keluasannya ini, psikologi fungsionalis dirasakan menjadi kurang focus dan tidak terorganisasi dengan baik.

1.2.  Rumusan Masalah
Dalam hal ini kami akan menjelaskan :
-         Apa yang dimaksud dengan belajar menurut aliran psikologi Behavioristik
-         Apa saja jenis-jenis teori belajar Behavioristik
-         Apa penerapan teori belajar Pavlon, Thorndike dan Watson dalam proses pembelajaran


1.3.  Tujuan
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini adalah
-         Agar kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan belajar menurut aliran psikologi Behavioristik
-         Jenis-jenis teori belajar Behavioristik, penerapan  teori belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam proses pembelajaran.


























BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Premis Dasar Teori Belajar Behavioristik
            Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara stimulus dan respons, yaitu proses manusia untuk memberikan respons tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar.

Hubungan Langsung
                                    S                                                          R
Koneksi








Stimulus yang
Dapat dilihat
 

Respons yang
dapat dilihat
 


Penyebab
 

 



            Proses S-R ini terdiri dasri beberapa unsur, yaitu dorongan ”drive”, stimulus atau rangsangan, respons, dasn penguatan atau “reinforcement”. Unsur dorongan diperlihatkan jika seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dasn terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang menyebabkan timbulnya respons dari orang  tersebut. Respons atau reaksi yang diberikan terhadap stimulus yang dapat terlihat. Unsur penguatan akan memberi tandas kepada seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong orang tersebut untuk memberikan lagi (respons yang sama ataupun respons yang berbeda).
            Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat, dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di dalam otak manusia karena hal tersebut tidask dapat dilihat. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
            Namun demikian, tidak kalah penting adalah masukan / input yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba oleh seseorang.
            Untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan, selain manipulasi stimulus, ada faktor penting lain yang sangat berpengaruh, yaitu faktor penguatan (”reinforcement”) yang mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah.         

2.2. Tiga Teori Belajar Behavioristik Dari Pavlov, Thorndike Dan Watson
A. Classical Conditioning – Pavlov
            Percobaan yang dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) merupakan upaya  untuk meneliti ”conditioned reflexes” a tau refleks terkondisi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan beberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur hanya oleh cahaya lampu, tanpa ada daging ( proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi, dan liur menjadi respons yang terkondisi.
            Teori Pavlov didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syarat otonom, serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.
            Ada tiga parameter yang diperkenalkan Pavlov melalui teori Clasical Conditioning, yaitu renforcement, extinction, and spontaneour recovery ( penguatan, penghilangan, pengembalian spontan). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan yaitu tindak lanjut atau penguatan yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti stimulus tak terkondisi dan respons tak terkondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian, pembentukan respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Makin banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi, makin mantaplah respons terkondisi yang terbentuk, sampai pada suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus tak terkondisi.
            Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi dimunculkan sendiri tanpa stimulus tak terkondisi, ada kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun dan hilang sama sekali. Proses ini disebut penghilangan atau ”extinction”. Misalnya cahaya dan daging untuk membuat anjing berliur. Jika hanya cahaya yang dimunculkan tanpa daging, lama kelamaan dapat terjadi anjing menjadi tidak berliur lagi. Namun demikian, bukan tidak mungkin pada suatu waktu anjing akan kembali berliur lagi (respons terkondisi muncul kembali – ”spontaneous recovery”) walaupun hanya cahaya yang dimunculkan (tanpa daging).
Disamping itu, dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan stimulus, yaitu kecenderungan untuk memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan stimulus tak terkondisi. Makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, makin besar pula perampatan yang dapat terjadi. Selain perampatan stimulus, teori Clasical Conditioning juga mengenal konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan suatu stimulus tak terkondisi yang lain (Morgan, et.al, 1986) sehingga seseorang akan melakukan ”selective association” – asosiasi terseleksi terhadap stimulus untuk memunculkan respons.

B. Connectionism – Thorndike
            Dasar-dasar Connectionism dari Edward L. Thorndike ( 1874-1949) diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan ”reasoning” atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
            Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaitu anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-binatang tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung, binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai, dan bahkan memegang/mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan penurunan frekuensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi lebih singkat.
            Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam suatu proses coba-coba (”trial and error”). Respons yang benar secara bertahap diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar melemah atau menghilang. Teori Connection Thorndike ini juga dikenal dengan nama ”Instrumental Conditioning”, karena respons tertentu akan dipilih sebagai instrument dalam memperoleh ”reward” atau hasil yang memuaskan.
            Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu ”law of effect” (dalil sebab akibat). ”law of exercise” (dalil latihan / pembiasaan), dan ”law of readines” (dalil kesiapan). Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan. Sementera itu, situasi atau hasil yang tidask menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut. Dalil latihan/pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respons. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar. Dalil kesiapan menyatakan kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung permunculan respons. Jika siswa sudah siap (sudah belajar sebelumnya) maka ia akan siap untuk memunculkana suatu proses atau stimulus yang diberikan . Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons. Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan  yang dapat memperlemah pemunculan respons.
            Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses ”transfer of learning” atau perampatana proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting). Teori Connectoinism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.

C. Behaviorism – Watson
            Walaupun John B. Waston (1978-1958) bukanlah ahli pertama yang melalkukan kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar, namun   Watson lah yang melakukan penyimpulan atas teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
            Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (obsevable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin  terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
            Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi – respons pengkondisian menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respons, Watson menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang dilengkapi dengan komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses pengkondisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih menggunakan dalil belajar dan konsep perampatan hasil belajar dari Thorndike.

2.3. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike, dan Watson dalam proses
       Pembelajaran
            Teori belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini dikemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru (neo-behabiorism). Sebelum kita membicarakan teori-teori belajar yang tergabung dalam aliaran neo-behaviorisme, marilah kita simak kemungkinan penerapan teori-teori belajar  Pavlov, Thorndike, dan, Watson dalam proses pembelajaran.
            Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proes pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup,dan relevansi pembelajaran ,dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons ( Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus ( perampatan dan atau diskriminasi stimulus – Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media beragam (dua atau lebih) secara variatif menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus-menerus (Chisholm & Ely, 1976). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
            Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan ( Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa maka siswa cenderung untuk mengulang mekelakuan yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama.  Disamping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali t idask menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siswa menjadi penting nilainya dalam suatu proses  pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk siswa berlatih. Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, situasi dimana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
            Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa.  Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun khusus. Agar dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep ”observable behaviour” (Watson). Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.






BAB 3
KESIMPULAN

Diantara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik adalah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar, terutama alam pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu dididik.
Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan refleks, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan oleh manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang peserta didik menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan (Syah, 1999: 112). Hal ini berarti proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifak mekanik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi dalam diri peserta didik selama dalam proses belajar (Muhaimin, 2002: 197).












DAFTAR PUSTAKA

Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;  Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Koesma, Rismiyati E, “Konsep Manusia menurut Psikologi Behavioristik; Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep Islam”, dalam Rendra K., (ed), 2000, Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara



Tidak ada komentar:

Posting Komentar