KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat yang dilimpahkannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik, yang berjudul “Sejarah Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah setia memberikan arahan dan pengajaran kepada mahasiswa/i umumnya dan kepada penulis khususnya selama mengikuti perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat, mahasiswa/i yang telah turut berpartisipasi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini masih terdapat berbagai kesilapan, kekurangan dan kesalahan karena kurangnya buku yang bisa dijadikan sebagai panduan serta karena keterbatasan waktu. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian untuk kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini dikemudian harinya.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian umumnya dan bagi penulis khususnya untuk memahami bagaimana Perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII.
Sibolga, Desember 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
- Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII ................................................................. 2
- Pahlawan HAM ................................................................................................... 8
- Pahlawan Social Responsibility.............................................................................. 8
- Pahlawan Pluralisme dan Multikulturalisme............................................................ 9
- Pahlawan Liberte, Egalite, Fraternite..................................................................... 9
- Pahlawan Unitarisme............................................................................................. 10
- Pahlawan Pembentuk Pasukan Inong.................................................................... 10
- Strategi Perang Sektoral, Holistik, Frontal-Total ................................................... 11
BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII
SISINGAMANGARAJA XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda. Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh. Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta. Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden Panggabean.
Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.
Ada pandangan yang berkembang di kalangan orang Batak, orang Tapanuli pada umumnya bahwa. perjuangan Raja Sisingamangaraja XII adalah perjuangan melawan Belanda, karena rasa tidak senang, karena benci, karena mau menjajah, menduduki tanah Batak dan mengambil hasil tanah Batak dan membawanya ke tanah Belanda.
Ada pula yang berpandangan bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah sama dengan perjuangan pahlawan nasional lainnya, seperti Pangeran Diponegoro, Iman Bonjol, Tjut Nya’ Din, Pattimura, dll yang menentang penjajahan Belanda dan tetap mempertahankan tanah airnya serta bertekad mengusir penjajah.
Dikumandangkan slogan bahwa Perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah perjuangan yang heroik, yang mempertaruhkan nyawa sampai titik darah penghabisan untuk membela dan mempertahankan tanah air, bangsa dan agamanya dari kangkangan dan pelecehan penjajah.
Semua pandangan di atas adalah benar bahwa Sisingamangaraja adalah pahlawan bangsa yang tidak mengenal menyerah sampai titik darah penghabisan. Demikian juga putra dan putrinya, Patuan Nagari, Patuan Anggi dan Lopian. Ia rela membawa mereka berjuang bersama diri dan pasukannya untuk mempertahankan tanah airnya. Tetapi pertanyaan kita ialah benarkah hanya sebatas itu perjuangan pahlawan nasional Sisingamangaraja? Kajian ilmiah berikut akan mencoba menganalisis dan membeberkan dengan rinci bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja lebih luas dan lebih universal dari pada hanya sekedar heroisme, membela tanah air, kepahlawanan, menolak menyerah, titik darah penghabisan, tidak rela ditawan dan menyerah kalah. Perjuangan Sisingamangaraja lebih dalam dari itu, lebih fungsional dan lebih strategik.
Tentang perjuangan Sisingamangaraja secara lengkap, runtut bahkan kronologis, silahkan membaca buku-buku sejarah yang sudah cukup banyak ditulis para penulis Batak apalagi penulis Belanda (dari sisi pandang dan kepentingan mereka). Dari penulis Batak saya sarankan membaca buku karangan Dr.W.B.Sijabat, Ahu Sisingamangaraja, 1982 ; O.L.Napitupulu, Perang Batak, Perang Sisingamangaraja, 1971. Dari penulis Belanda tulisan E.E.W.G. Schroder, Memorie van Overgave van de Residentie Tapanoeli, 1920. Dan juga daftar bacaan melanjutkan yang saya cantumkan pada akhir naskah ini.
Naskah ini menitik beratkan muatan pandangan analisis konseptual ilmiah, sebagai bukti perjuangan beliau yang luar biasa secara empiris faktual sejak perjuangan dengan strategi diplomasi 1876-1877 akhir, hingga perang phisik 1878-1907 selama 30 tahun.
B. Pahlawan HAM
Perlawanan Sisingamangaraja tidak hanya ditujukan kepada usaha mempertahankan tanah air dari penguasaan dan perebutan penjajah Belanda. Dia juga sambil bertempur melawan Belanda, beliau terus juga menolak perbudakan dan pencengkeraman terhadap kebebasan rakyat. Dia membebaskan para tawanan yang dipasung, diikat dan dihukum secara tidak manusiawi oleh kekuasaan raja-raja lokal. Dia sangat menghargai hak hidup, hak bebas, hak merdeka, hak kesehatan, hak kebebasan dari rasa takut, setiap orang. Karena itu seluruh rakyat mencintainya.
Perjuangan HAM yang telah dirintis Raja Sisingamangaraja ini perlu diperdalam, fondasinya, essensinya dan eksistensinya untuk disumbangkan kepada Negara dun dunia internasional. Perjuangan ini adalah perjuangan universal yang telah dilakukan Sisingamangaraja
C. Pahlawan Social Responsibility
Berbarengan dengan pertempuran melawan Belanda, beliau juga memperhatikan bahkan mengamati dengan cermat kehidupan dan kesehatan rakyatnya. Walau dalam perjalanan perang dia juga menyembuhkan orang-orang sakit. Memberi nasihat bagaimana melawan penyakit dengan cara memberi ramuan dan tindakan yang harus dilakukan agar semua musuh yang tampak dan tidak tampak (ula-ula, alogo na jahat, Jenis ilmu hitam yang dimiliki dan dipraktekkan orang Batak jaman dahulu) dapat dikalahkan. Pesan melawan penyakit itu juga disebarkan melalui mulut ke mulut oleh rakyatnya, sehingga tona itu menyebar ke seluruh tanah Batak. Dia memperhatikan nasib rakyat yang ditemuinya: Kalau ada orang yang terpasung segera dimintanya dibebaskan (al. di Sibaganding, 1883, dan di tempat-tempat lain). Karena itu dia sangat membela nasib sosial setiap orang.
Prinsip beliau yang sangat mendalam ialah sambil berperang melawan Belanda, juga berperang melawan penyakit dan sumber penyakit kejahatan. Walau dalam pertempuran, namun tanggung jawab sosial kepada rakyat tetap dilakukan.
D. Pahlawan Pluralisme dan Multikulturalisme
Dia melakukan hubungan dengan Kesultanan Aceh yang pada saat yang hampir sama 1873 juga melakukan perlawanan kepada Belanda. Sisingamangaraja mendapat bantuan dari Sultan Iskandar Muda berupa panglima dan pasukan jitu yang ditakuti Belanda. Sama dengan pasukan khusus atau paratroops yang sangat ditakuti. Pada saat perang Batak dikobarkan tahun 1878, pasukan berani mati dari Aceh ini sudah mendampingi beliau melawan Belanda.
Beliau tidak hanya mengandalkan pasukan dari tanah Batak yang digalang melalui para raja maropat, raja bius dan raja horja, tetapi juga dari sub etnik dan etnik lain misalnya Batak Timur (Simalungun), Pardembanan, dan Aceh. Adanya kebiasaan para anggota pasukan yang heterogen dan berbudaya yang berbeda itu menunjukkan bahwa beliau menguasai dan mengakui serta memelihara budaya-budaya yang beragam itu. Karena itu beliau berjuang juga memakai basis multikulturalisme (keberagaman budaya).
E. Pahlawan Liberte, Egalite, Fraternite
Dia memegang prinsip kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan (Liberte, Egalite; Fraternite) adalah hak fundamental manusia, termasuk manusia Batak. Ketika beliau mendapat informasi dari titik sandinya, bahwa Belanda akan memperluas kekuasaannya ke dataran tinggi Toba dengan dalih melindungi gerakan Zending Kristen, Sisingamangaraja mengirim surat agar maksud itu dibatalkan. Karena setiap orang berhak untuk merdeka dan berdiri sendiri, termasuk orang Batak (waktu itu disebut bangso Batak).
Beliau mengulangi lagi mengirim masuk kepada pihak Belanda di Sibolga, agar mengurungkan maksud untuk mengirimkan bala tentara ke Silindung, dengan alasan bahwa pasukan Sisingamangaraja dan pasukan Aceh yang didatangkan dari Kerajaan Aceh (Sultan Iskandar Muda) akan menyerang Silindung dan membunuh para zendelingen. Beliau menyatakan bahwa issu itu tidak benar.
Strategi diplomasi dengan mengirim surat dan utusan untuk membatalkan maksud jahat Belanda itu dilakukannya antara tahun 1876 – 1878 awal. Ini memperlihatkan bahwa Sisingamangaraja adalah anti pertumpahan darah. Dia menjunjung perdamaian. Azas perdamaian yang dipegangnya adalah berdasar pada hak kemerdekaan bagi setiap orang dan bangsa. Dia memandang bahwa setiap orang itu punya hak yang sama, punya hak azasi kesetaraan. Itu sebabnya dia juga selalu membebaskan budak dan tawanan perang (antar huta, antar marga). Berdasarkan pandangan itu beliau sebenarnya berprinsip bahwa semua manusia itu bersaudara. Oleh karena itu harus selalu membantu, menolong dan melindungi.
Oleh karena itu piinsip perjuangannya tidak kalah dengan prinsip perjuangan orang Perancis. Filosofi liberte, egalite dan fraternite bukan hanya milik orang Perancis, tetapi juga filosofi dan pandangan hidup orang Batak, terutama raja Sisingamangaraja. Bahkan menjadi landasan perjuangan kemerdekaan orang Batak yang dipimpinnya melawan penjajahan Belanda.
F. Pahlawan Unitarisme
Beliau mengajak para raja maropat disegala wilayah di Sumatera. Dia juga berhubungan dengan para raja maropat di Simalungun, al. raja Raya Tuan Rondahaim, juga raja di Bandarpulo, Pagurawan Asahan, Labuhan Batu (raja Lunggur), dan mengunjungi rakyat Batak Pardembanan (Sumatera Timur). Dia menyatukan perjuangan raja-raja lokal yakni para raja maropat. Praktek perjuangan unitarisme ini terlihat ketika beliau mengumandangkan deklarasi Pulas kepada Belanda, ketika perang frontal Bahalbatu, Tanggabatu, Balige, Laguboti, maupun perang sektoral di Lobu Siregar, Bakara, Meat, Sionom Hudon, perang Asahan, dll.
“Pulas adalah suatu deklarasi pemyataan perang kepada Belanda, dengan memakai simbol manusia tarbuat dari ubi (rambat/kayu) yang diukir berupa tubuh manusia yang ditusuk tombak bamboo kecil dan digantungi surat pernyataan perang serta digantungkan ditempat terbuka (biasanya onan/pasar). Perang antar individu diumumkan dengan manutung longit, yaitu daging yang dibakar dan dikirimkan kepada musuh. Pulas dan longit adalah simbol kekesatriaan orang Batak yang mengumumkan maksud perangnya secara terbuka kepada musuh. Tidak menyerang secara sembunyi-sembunyi. Mereka memberi kesempatan kepada musuh untuk mempersiapkan diri untuk melawan.
G. Pahlawan Pembentuk Pasukan Inong.
Saat konsolidasi perjuangan di wilayah pulau Samosir setelah dia kembali dari Asahan, Sumatera Timur dan Simalungun dia menerima terbentuknya pasukan inong. Pasukan perempuan yang dibentuk oleh kaum perempuan di Ronggurnihuta, di puncak bukit tertinggi di pulau Samosir. Pasukan inong ini terdiri dari kaum perempuan, ibu-ibu dan anak gadis, menyertainya bertempur sampai ketempat konsentrasi terakhir di Sionom hudon Dairi. Dapat dipastikan bahwa pasukan inong ini dipimpin oleh si boru Lopian, dibantu oleh pejuang perempuan yang lebih tua darinya.
Dari adanya pasukan inong ini, terlihat bahwa Sisingamangaraja menghargai eksistensi kaum perempuan. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam mempertahankan martabat bangsa dan wilayah (negara). Beliau menolak diskriminasi seksual dan gender.
H. Strategi Perang Sektoral, Holistik, Frontal-Total
Dari data dokumental yang ditulis oleh para penulis Batak, maupun Belanda, dapat disimpulkan bahwa perjuangan clan pertempuran yang diterapkan Sisingamangaraja sungguh luar biasa dan konsisten. Basis dinamika perjuangan itu al. strategi cultural (adat partuturan, adat demokrasi), strategi penyerangan dan pertahanan yang sektoral dan frontal, strategi ekologi sesuai kontur alam tanah Batak.
Saya namakan adat demokrasi, karena bermusyawarah, marrapot, marria raja, marhata, martonggo raja adalah kebiasaan orang Batak. Kata demokrasi dipinjam dari perbendaharaan modern sekarang untuk memperlihatkan bahwa parrapotan, parriaan, partonggoon, parhataan adalah nama-nama untuk demokrasi. Jadi demokrasi adalah bahagian utama dalam adat Batak
Sisingamangaraja selalu mengajak raja-raja huta, horja, bius dan raja maropat dan para panglimanya bermusyawarah ketika akan memutuskan perlawanan kepada usaha Belanda memperluas kekuasaannya di tanah Batak dengan pernyataan deklarasi Pulas (musyawarah Balige, 16 Februari 1878 ). Bahkan ketika beliau menyingkir dari kejaran Belanda, di tempat dia menginap, selalu bermusyawarah dengan raja setempat.
Pertempuran dilakukan dengan strategi sektoral, yaitu melibatkan pasukan dari wilayah-wilayah terdekat dengan kawasan pertempuran, misalnya pertempuran Lobu Siregar, Meat, Tarabunga, pertempuran Muara dan Bakara, pertempuran Sionom Hudon, Uluan, Asahan Hulu (1907). Strategi frontal dilakukan ketika beliau hendak menghancurkan pasukan Belanda seluruhnya, dilakukan pada pertempuran Bahal Batu, Tangga Batu, Balige (1883), Laguboti (1883).
BAB III
KESIMPULAN
Disarankan agar para ahli, akademisi dan peminat sejarah untuk meneliti lebih lanjut dalam perjuangan Raja Sisingamangaraja XII ini. Titik pendalaman dapat dilakukan dari berbagai, adat istiadat, seni, ekonomi, hak azasi manusia, hukum maupun sosiologi.
Dengan demikian kita akan menemukan akar pesan dan warisan perjuangan yang holistik itu yang menjadi basis perjuangan orang Batak dan rakyat Indonesia ke masa depan dalam abad globalisasi ini. Kita harus mencari nilai strategi perang, nilai strategi politik diplomasi; nilai kultural, sosial ekonomi, nilai hak azasi, untuk kita pakai membangun kesatuan bangsa Indonesia dan pergaulan internasional antar bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar