Halaman

RINERLIS SITUMORANG

Minggu, 11 Desember 2011

ASAL MULA BATU KEBAHAGIAAN


ASAL MULA BATU KEBAHAGIAAN
Riuh indah kicauan burung, angin bertiup sepoi-sepoi, mentari mulai mencemar sinarnya suasana pagi yang cerah membuat hati warga Sibolga semangat untuk bekerja. Sebuah kota kecil yang berada di antara bukit-bukit berbaris dan pantai yang elok menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi penduduknya. Walaupn kotanya kecil penduduknya ramah tamah dan berbilang kaum

          Berbilang suku yang mempunyai tujuan satu, memajukan Kota Sibolga tercinta. Suku beraneka ragam seperti Nias, Batak, Melayu, Aceh, Padang, China senantiasa bergotong royong menjaga kebersihan Kota Sibolga, tolong menolong antar anggota keluarga, saling  menjaga keamanan.

          Pada saat itu tahun 1761, suasana Kota Sibolga tergambar begitu indah. Kota Sibolga memiliki 25 kepala keluarga yang terdiri dari beragam suku. Terdapat sebuah perkampungan yang unik didalam Kota Sibolga, yaitu perkampungan Santiong. Perkampungan ini pada awalnya di huni 15 kepala keluarga yang dibagi menjadi 3 permukiman. Ketika mulai memasuki Santiong terdapat permukiman Melayu yang terlihat jelas ketika pagi hari mereka berjualan sayur dan terdapat timbangan besar pada masa itu. Ketika mulai menelusuri Santiong  terdapat pemukiman Cina dan beberapa kuburan batu orang China yang tertata rapi. Di ujung kampung tepat di bawah bukit terdapat pemukiman orang Batak, hal ini masih ditandai hingga sekarang masih terdapat patung Bunda Maria dan Altar tempat beribadah.
          Meskipun beragam semuanya bersatu dan bergotong royong, pada pemukiman China terdapat sebuah keluarga yang damai yaitu keluarga Pak Acong dan Ibu Sukmoy dengan anak laki-lakinya Acon. Pak Acong sehari-harinya bekerja sebagai pembersih ternak babi, sedangkan ibu Sukmoy bekerja sebagai penjual sayur di pemukiman Melayu. Acun tumbuh besar, perkasa, dan bijaksana di usia 17 tahun. Sehari-hari ia menuntun teman-temannya kegunung untuk berburu babi, burung, kelinci. Hidup Acun dipenuhi kebahagiaan, setelah selesai berburu ia membantu ibunya menaman sayur dibawah lereng gunung sambil bercanda dan bernyanyi dengan ibunya.

          Hari demi hari berlalu dinikmati warga Sibolga dengan kebahagiaan, kebersamaan yang indah dan hidup rukun. Ketika itu, Acun dan kawan-kawan sedang berkumpul menikmati rembulan malam yang indah, berada diantara api unggun sambil membakar kelinci hasil buruan. Suasana keheningan terpecah ketika Acun mempunyai ide untuk menangkap buaya dan ingin memakannya. Acun mulai merasa bosan makan daging ayam, kelinci, babi, dan lain-lain.
Tiba – tiba Acun berkata sama teman-temannya.
Acun
:
Eh Hasanuddin, lu pernah makan daging buaya ga ?
Hasanuddin
:
Ue mana pernah makan gituan, ngeri tau.
Acun
:
Duuh…ngeri gimana? Ue pengen makan buaya nih, bosan ue makan daging kelinci.
Hasanuddin
:
Tak mau ah, ue takut.
Acun
:
Ia sudah, ada yang mau ikut ue tak besok tangkap buaya di rawa merah ?
Poltak
:
Aku mau tapi tanya bapak ku dulu ya, merepet nanti dia pening aku.
Acun
:
Okelah, ada lagi yang mau ?
Udin
:
Tak mau ah, saya dan teman-teman yang lain takut dimakan buaya
Hasanuddin
:
Parah amat lu orang  takut semua. Besok ue berangkat sama Poltak aja lah.

Rembulan malam memancarkan kemilauannya, angin yang sepoi-sepoi, udara sejuk, suara kunang-kunang menemani merka hingga pagi. Menghabiskan malam dengan bermain karet, congkak, batu S, dan lain-lain.

          Pagi yang cerah kicauan burung yang merdu, membuat Acun semangat untuk berburu. Acun pulang ke rumah untuk mandi. Semampainya di rumah ibu Sukmoy mempunyai perasaan yang tidak enak terhadap anaknya, ia bergegas lari utuk menemui anaknya.
Ibu Sukmoy
:
Cun, hari ini Lu mau kemana, mama punya perasan tidak enak nih. Sepertinya akan terjadi sesuatu.
Acun
:
Mau pergi berburu ma, udah mama tidak usah cemas, Acun bisa jaga diri kok.
Ibu Sukmoy
:
Lu mau berburu kemana?
Hari ini tidak usah pergi ya nak.
Acun
:
Mau ke Rawa Merah nangkap buaya.
Udah  mama tidak usah khawatir Acun aman kok, bosan nih tiap hari makan ayam, ikan, babi mulu.
Sekali-kali  ingin makan buaya.
Pak Acong
:
Wah, gila ini anak ya.
Lu gak tau mati ya?
Buaya itu bisa makan manusia.
Kalau sampai Lu dimakan kami tidak punya anak lagi.
Jangan Pergi Cun
Ibu Sukmoy
:
Iya, kami sayang kamu Cun
Jangan nekad seperti itu nak.
Acun
:
Ue tetap harus pergi, Ue udah bosan makan daging babi, kelinci, ayam, ikan sekali-sekali makan daging buaya biar enak, kata mitos juga makan daging buaya bisa awet muda.
Ibu Sukmoy
:
Kalau terjadi sesuatu sama Lu gimana?
Acun
:
Acun bisa jaga diri kok
Acun uda bawa kertas mantra penjaga kok
Pak Acong
:
Lu tetap tidak boleh pergi!
Itu berbahaya.
Acun
:
Uda ah, Ue tetap mau pergi.

          Acun berlari secepat mungkin membawa sebuah karung yang berisi anak ayam sebagai umpan, besi gancu serta tali yang besar dan panjang. Acun pun pergi bersama Poltak ke Rawa Merah tanpa memperdulikan orang tuanya. Sedangkan Polta sudah pamitan untuk berburu bukan ke Rawa Merah.
          Diperjalanan mereka bercerita dan berhayal akan membawa pulang seekor buaya untuk menunjukkan kemampuan mereka  perlahan tapi pasti. Sampailah mereka pada Rawa Merah, kicauan burung yang aneh dan seram, berjejeran bambu yang telah dibatasi warga dan bertulisan “berbahaya”. Poltak berkata “ Kau yakin Cun, tempat ini mengerikan lho? “oke-oke” sahut Acun enteng, “Kau seharusnya bilang dari tadi kalau kau takut!”

          Poltak tersentak dan menatap Acun dengan pandangan sedingin es “Apa kata mu? Sergah Poltak, “Aku takut? Enak saja....”

          “Kalau bagitu buktikan!” tantang Acun “ Kau mau masuk atau pulang saja?”

          “Ayo, masuk!” Poltak mengambil keputusan. Meskipun hatinya tarasa dingin, tetapi rasa ego telah menguasainya. Pemuda itu langsung melompat pagar bambu dengan mudah, karena tubuh mereka yang atletis sering memanjat gunung untuk berburu.

          Di bawah Acun tertawa tertahan “Poltak, pagar itu tingginya 5 meter! Kau yakin bisa memanjatnya?

          “Kenapa enggak?” sahut Poltak sambil berusaha.

          Acun berjalan beberapa langkah ke arah semak-semak yang ramai dan menyingkapnya. Tangannya menunjuk sebuah lubang akibat bambu yang telah rapuh. “Ue mau lewat sini aja, bagaimana dengan lu?” Sebuah senyum nakal mengambang dibibir Acun.
          Poltak mendengus dan lompat turun. “Sial Kau!”  Gerutunya lalu berjongkok di belakang Acun. Ia mengikuti Acun menelusuri semak-semak.

          Acun dan Poltak berdiri menyusuri semak belukar secara perlahan. Mereka bergerak sambil menunjuk, berjongkok, dan berguling hingga akhirnya mereka berhasil mendekat Rawa Merah.

          Mereka melihat dari kejauhan banyak buaya yang sedang tertidur lelap. Kedua remaja itu menempelkan tubuh mereka di pohon. “Oke, sekarang bagaimana ?” tanya Poltak dengan nafas terengah-engah. Terik matahari yang panas semakin meningkatkan kedua amarah remaja ini.

          ”Selanjutnya balut anak ayam yang kita bawa pada gancu, lalu lu ikatkan gancu pada tali” Kata Acun sambil menutur Poltak.

          ”Udah beres Cun, tapi kau yang palingnya, aku tidak pernah nangkap buaya” kata Poltak dengan rasa takut.

          ”Ah, dasar! Bilang aja lu takut”. Acun memanjat pohon dan mulai mengulurkan umpan secara perlahan.
          Seekor anak buaya memakan umpan, ”Hore...” teriak Poltak  dengan sangat kuat dan tanpa menyadari semua buaya terbangun. Anak buaya pun berusaha melepas gigitannya.

          Karena sudah tergancu jadi sulit untuk melepas, Acun berusaha tetap menarik anak buaya dari atas pohon hingga suasana menjadi tegang  karena mereka berlawanan menarik.

          Tiba-tiba bunyi suara ”kreek....” ”kreekkk...” seperti suara pohon yang akan tumbang. Akhirnya pohon mereka tumbang. Suasana menjadi gelap, bingung, hampa, seolah-olah tidak percaya dan mereka serentak berteriak ”Haa....”

          Mereka masuk kedalam Rawa Merah, karena buaya juga tertimpa pohon mereka sempat melarikan diri, namun ketika mau keluar dari Rawa kaki kanan Acun sempat tergigit oleh induk buaya. Acun berteriak ”tolong...”. Namun semua sia-sia karena secara spontan kaki kanan Acun putus.

          Poltak bergegas menggendong Acun menuju pintu ke luar. Namun Poltak bingung entah apa yang harus diperbuat hingga akhirnya ia mendorong acun dari potongan bambu yang sudah rusak pada pintu keluar namun Acun sudah tidak berdaya. Sulit untuk mengeluarkannya dari pintu kecil itu.

          Sementara itu buaya terus mengejar mereka. Ketika buaya mendekat dengan sekuat tenaga ia mendorong Acun. Hari yang sial bagi mereka,  ketika Poltak hendak lewat, tangannya naas digigit buaya dan ia tertarik.

          Sekuat tenaga Poltak mendorong dirinya keluar, namun ia harus kehilangan tangannya.

          Diluar gerbang Poltak mulai menyeret badanya secara beringsut-ingsut menuju Acun.

          ”Acun, kau bagaimana?”. Kata Poltak sambil menangis.

          ”Ue tau kesalahan ue melanggar nasehat orang tua” jawab Acun dengan muka bersedih.

          Kemudian mereka berterika minta tolong sebisa mereka mampu dengan kondisi badan yang lemah. Ada sekitar tiga jam mereka terkapar di tanah yang penuh dengan rumput lebat.

          Ada seorang pengelana mendengar suara mereka dan menolong mereka kembali ke Santiong.

          Sesampainya di Santiong mereka disambut dengan hinaan dan dicibir oleh para warga.

          ”Ini justru pertanda buruk” kata Acun dengan muka kusut.

          Begitu sampai di rumah mereka disambut oleh orang tua masing-masing dengan teriakan dan tangisan yang mendalam.

          Kini terasa penyesalan yang mendalam di hati mereka. Nasi telah menjadi bubur, dunia terasa hampa dan entah apa yang harus dilakukan, andai dapat memutar waktu itu lah yang ada dalam hati Acun dan Poltak.

          Warga marah-marah dan tidak terima dengan adanya orang cacat di kampung mereka. Semua warga protes agar Acun dan Polta di usir dari kampung.

          Pak Acong yang bijaksana mengumpulkan semua warga dan berkata ” Kesenangan hanyalah sementara, kesedihan juga sementara, apakah kita yakin semua kita bakal sehat, tidak seperti anak saya, baik atau buruk harus kita terima apa adanya, jangan terlalu berlebihan dalam menanggapi suatu hal”.

          Akhirnya semua warga mengerti dan mengangguk-angguk dengan apa yang dikatakan Pak Acong.

          Lima tahun pun berlalu dengan cepat dan nyaman, kehidupan warga masih kompak dan saling menghargai. Pada tahun 1771 Belanda memasuki Kota  Sibolga, semua suasana menjadi berubah.
          Awal kedatangan Belanda mereka mau menyebarkan Agama, mengajak Rakyat Sibolga mengelola lahan, dan meningkatkan taraf hidup Sibolga.

          Banyak rakyat Sibolga yang diajari bercocok tanam, diajari menulis, dan dibuka sekolah khusus untuk anak pejabat menteri dan pemimpin kampung.

          Belanda masuk dari Barus, pada awalnya Belanda terlihat kompak dengan masyarakat Sibolga. Belanda menjamin segala sesuatunya berdasarkan kesepakatan Indonesia dan Belanda.

          Belanda mulai mengelola lahan dan menguasai penghasilan laut Kota Sibolga. Perlahan-lahan Belanda mulai menguasai perairan Kota Sibolga, yaitu segala jenis kapal yang datang ke Indonesia dikenakan pajak baik masyarakat Sibolga sendiri maupun masyarakat luar yang berkunjung. Hasil perikanan di Kota Sibolga 50% untuk Belanda sebagai penjamin kerjasama yang baik.

          Belanda  juga membuat prinsip, hasil cocok tanam semua dikumpul dan dibeli oleh Belanda. Kemudian Belanda menjual dengan harga berlipat ganda dengan modal menipu dan mengatakan sayur Indonesia dan Belanda.

          Hasil ternak 50% milik Belanda dan dirawat oleh Indonesia, dengan mudah Belanda menjaga keamana di Kota Sibolga.
          Lama kelamaan rakyat mulai resah karena segala sesuatunya dipajak dan berbagi dengan Belanda. Pada  hal yang bekerja tetap rakyat Indonesia.

          Belanda memberi respon dingin dan tetap pendirian pada politiknya. Hingga dalam satu tahun Belanda berhasil menguasai warga Sibolga untuk patuh dan mempercayai bahwa Belanda akan memberi kesejahteraan.

          Belanda  mempunyai ide akan membuat jalur transportasi darat untuk ke Kota Sibolga. Belanda menyusun perencanaan akan membuat jalur dengan mengelilingi lereng gunung dan bukit yang ada di Sibolga. Hingga akhirnya Belanda bekerja sama dengan rakyat Sibolga untuk membangun.

          Pada awal membangun tidak ada paksaan dan kerjasama yang terjalin baik. Belanda ikut membangun. Memberi stok makanan lebih bagi para pekerja. Hingga akhirnya sampai pada jalan yang akan dibangun yaitu sebuah bongkah batu yang besar. Belanda bingung bagaimana cara memecahkan teka-teki dari sebuah batu besar tengah jalan yang akan dibangun.

          Belanda mengadakan konfrensi antar petinggi Belanda untuk memecahkan teka-teki sebuah bongkahan batu besar pada jalan yang akan dibangun.

          Belanda mempunyai siasat untuk mendorong bagu kejurang dengan menggunakan tenaga 1000 manusia yang didatangkan dari berbagai wilayah kekuasaan Belanda. Seperti masyarakat Medan, Lubuk Pakam, Tarutung, Balige, Siborong-borong, untuk membantu membangun jalan.

          Ketika terkumpul 1000 orang siasat pendorongan pun dimulai. Siasat mendorong dari kiri dan kanan serta dari atas telah dicoba namun sia-sia. Bongkahan batu itu bergeser tidak sedikitpun. Belanda semakin menjadi-jadi dengan mendatangkan wanita dan orang  tua serta anak-anak untuk membantu mewujudkan keinginannya.

          Namun usaha itu tetap gagal karena bongkahan batu dengan luas, tinggi 8 m dan lebar 22 m tidak mampu dipindahkan.

          Usaha tesebut berlangsung hingga 3 hari, berbagai siasat dan cara telah dilakukan. Karena kekurangan stok makanan perlahan banyak orang tua yang mati kelelahan dan anak-anak yang kelaparan. Orang tua yang mati dibuang begitu saja kejurang, anak-anak yang lapar hanya diberi ubi rebus dan banyak anak muda yang menahan lapar.

          Napas memburu, peluh bercucuran, debar jantung yang menggila, semangat yang tinggi, telah diberikan masyarakat Indonesia agar dapat mendorong batu. Namun, tidak ada yang membuahkan hasil.

          Belanda mulai terlihat kejam ketika salah seorang pemimpin Indonesia meminta stok makanan dan obat-obatan bagi para pekerja. Namun, Belanda hanya berkata ”Kamu tidak tau untung, belum ada hasil, sudah minta makanan”.

          Rakyat Santiong yang ikut membantu mulai resah karena tingkah Belanda yang semakin menjadi. Sudah hampir 2 hari tidak makan, air yang diminum pun air cucuran gunung. Semua rakyat resah dan para rakyat yang datang membantu juga ditelantarkan.

          Malam harinya rakyat Kota Sibolga rapat dengan para pendatang tanpa pengetahuan Belanda. Mereka rapat dibawah kaki gunung Santiong. Mereka membicarakan tentang nasib mereka dan tingkah laku Belanda yang semakin menjadi-jadi. Ketidak adilan mulai terjadi, perlakuan yang tidak pantas mulai dilakukan Belanda, kesejahteraan tidak terwujud lagi.

          Suasana rapat berlangsung hingga pagi dan tegang. Berbagai masalah yang terjadi telah dibahas, banyak solusi-solusi yang telah di simpan agar diterapkan dan diajukan kepada Belanda.

          Ketika suasana rapat hampir selesai Pak Acong mengangkat tangan mau berbicara. Dalam seketika suasana hening dan perhatian tertuju kepada Pak Acong.

          ”Saudara-saudaraku yang kucinta, lindungi diri sendiri dan keluarga adalah yang terbaik. Jikalau kita mau bekerja sama atau mencari kesejahteraan lebih baik berpikir  panjang dulu”.

          Semua rakyat menjadi sadar dan tenang. Kemudian mereka menunjuk 5 juru bicara kepada Belanda untuk membahas mengenai kesejahteraan masyarakat. Juru bicara pertama adalah Reno dari suku Melayu berkata ”Usaha dan pengelolahan tanah biarlah seluruhnya kami rakyat Indonesia mengelolahnya sendiri, terima kasih atas kerjasamanya dan ilmu yang telah diberikan”.

          Juru bicara kedua Ibu Seti dari suku Nias ”Bapak-bapak terhormat yang telah baik kepada kami biarlah kami mengelola hasil perikanan kami, terima kasih selama ini atas saran dan ilmu yang telah bapak berikan”.

          Juru bicara ketiga, Pak Zebua dari suku Nias, ”Tuan, mengenai keamanan dan kenyamanan penduduk biarlah kami jaga bersama dan bapak tidak perlu mengutip biaya pajak dan kemanan”.

          Juru bicara keempat, Pak Ahong dari suku China, ”Tuan, tolong pajak perdagangan kami jangan lagi diambil, peternakan juga bisa kami kelola, terima kasih atas kebijaksanaan bapak selama ini membantu kami dalam memajukan ternahk”.

          Juru bicara kelima, Pak Setno dari suku Padang, ”Tuan dan Bapak yang terhormat, kami rakyat Kota Sibolga bersedia memajukan wilayah kami sendiri dan oleh karena itu pembangunan jalan yang terhalang oleh batu tidak usah dilanjutkan demi kebahagiaan bersama ”.
          Setelah selesai bicara dan menyampaikan pendapat masing-masing suasana menjadi panas ketika Belanda menanggapi dingin dan berbalik badan meninggalkan warga.

          Semua rakyat berteriak, ” Tolong...” ”Mengerti.....” ” Kami.....”
          Tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika Belanda berbalik. Seketika itu Belanda mengambil bedil dari kantong dan menembak 5 juru bicara.

          ”Ssstt.....tus....torr....torr.....tor.....tor...”

          Seketika kelima juru bicara terjatuh dan meninggal penuh darah bercucuran darah.

          Semua rakyat menjadi marah dan penuh emosi terhadap belanda itu. Mereka menangis sambil melempari batu dan barang-barang yang ada pada mereka. Mereka maju semua dan memberontak.

          Acun merasa sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menangis meratapi nasib kaumnya dibelakang barisan.

          Belanda mengangkat bedil ”Yang berani maju, saya tembak”.

          Semua warga mundur dan kesal. Suasana tegang ditambah mulai turun hujan dan petir yang menggelegar langit menjadi gelap seketika.

          Semua terasa salah, penyesalan mulai datang. Belanda berkata ”Bubar barisan segera, semua harus tunduk pada Belanda, Belanda nomor satu yang tidak tunduk pada Belanda akan ditembak mati”.

          Belanda memaksa warga untuk menggali, memukul, melobangi batu bongkahan yang besar secara paksa.

          Ketika itu suasana berubah drastis, terjadi prampasan dimana-mana oleh Belanda.

          Pada tahun 1768 rakyat Sibolga semakin berkurang karena banyak yang ditindas dan dipaksa oleh Belanda. Segala sesuatu yang dilakukan oleh rakyat Sibolga serba terbatas, Belanda selalu mengawasi gerak-gerik rakyat.

          Kerja paksa untuk melubangkan batu yang jaraknya kira-kira 8 km dari Kota Sibolga terus berlanjut. Ratusan pekerja  didatangkan adri berbagai daerah. Banyak peristiwsa mengerikan yang terjadi, para pekerja dipaksa memukul, membanting, dan mendorong batu tanpa istirahat.

          Banyak rang tua yang mati kelelahan, ketika itu Belanda berubah menjadi keras tanpa  perasaan, pekerja yang berhenti sekedar mengambil tenaga karena otot lelah dipukul dan dicambuk tanpa perasaan.

          Suasana hironis yang menyayat-nyayat hati para rakyat Indonesia, mereka bekerja paksa dengan cucuran keringat, goresan ditubuh bekas luka cambukan. Mereka yang meninggal karena kelelahan bekerja dibuang begitu saja kedalam jurang. Banyak mayat yang dibiarkan membusuk dipinggiran bongkahan batu.

          Banyak yang menangis dan berteriak. Bekerja seharian dengan sekuat tenaga  hanya diberi ubi rebus, kadang tidak diberi apa-apa.

          Pada awalnya Belanda hanya melakukan kerja  paksa pada kaum lelaki  muda dan tua. Namun, kini Belanda semakin meraja lela, karena sudah kehabisan tenaga ia mengundang berbagai jenis kaum, mulai dari anak-anak, remaja, wanita tua, wanita muda, lelaki muda, lelaki tua.

          Semuanya diajak untuk kerja paksa memenuhi keinginan Belanda.

          Hingga suatu ketika Belanda  mau meningkatkan daerah kekuasaannya. Belanda meminta bantuan para pemuda Indonesia untuk dilatih sebagai Agresi Militer Belanda.

          Semua pemuda yang tidak  cacat berumur 17 tahun hingga 25 tahun diambil oleh Belanda dan dilatih untuk menggunakan senjata, meningkatkan fisik, membangun mental kejam, dan diajari cara berperang.

          Pengambilan secara paksa dilakukan Belanda mulai menelusuri rumah penduduk satu persatu. Para ibu-ibu telah menangis karena akan kehilangan anak lelaki mereka.

          Tibalah Belanda di Santiong, hati warga Santiong sungguh berdebar serasa dunia bergoncang. Belanda mengambil para pemuda-pemuda perkasa mereka, kecuali Acun dan Poltak karena mereka cacat.

          Kini berbuahlah hasil perkataan pak Acong dulu “Kesenangan hanyalah sementara, kesedihan juga sementara, apakah kita yakin kita semua bakal sehat selalu, tidak seperti anak saya yang cacat, baik atau buruk harus kita terima apa adanya, jangan terlalu berlebihan menanggapi sesuatu”.

          Mereka harus kehilangan anak mereka, air mata bercucuran dari pipi keluarga para pemuda yang dibawa Belanda. Sedangkan keluarga Acun dan Poltak masih terlihat bahagia dan rukun, mereka menyukuri kekurangan mereka.

          Pembuatan batu lobang terus berlanjut, semua pekerja dipaksa untuk bekerja. Untunglah ibu Sukmoy bisa bercocok tanam.

          Setelah selesai bekerja membuat batu lubang ia bercocok tanam di bawah kaki gunung pada malam hari. Sehingga keluarga mereka memiliki persediaan makanan cukup.

          Acun dan Poltak selalu membantu ibu Sukmoy untuk mencangkul, menanam, dan menyiram.

          Rembulan malam begitu indah, tapi tidak seindah hati mereka yang selalu resah, memanti hingga kapan penyiksaan ini terus berlanjut.

          Acun dan Poltak duduk pada sebuah pohon dan mengobrol
Acun
:
Eh, nurut kau kita bisa berbuat sesuatu gak ?
Poltak
:
Berbuat bagaimana?
Acun
:
Membunuh Belanda, mau ?
Ibu Sukmoy
:
Suuuutt...jangan gitu kamu Cun
Acun
:
Kita sudah menderita cukup lama, waktunya merubah keadaan
Poltak
:
Hahahaha....merubah kenyataan gimana?
Ngaca donk lu bengak!
Acun
:
Wah.....ini anak!
Kita  pasti bisa kok kalau mau
Poltak
:
Mereka bawa bedil. Kau ditembak sudah tidak bisa bernafas lagi.
Acun
:
Ya pake siasat lah, masa nyerahin diri begitu saja.
Poltak
:
Ia juga ya....Kau punya siasat gimana?
Acun
:
Ada deh...besok kita kumpulin warga yuk.
Poltak
:
Kau uda pengkak gitu!
Saran aku jangan macam-macam lah kau
Acun
:
Kaki pengkak?
Cemana otak bengak?
Poltak
:
Suka hatimulah, aku mau tidur
Keduanya berpisah dan menuju rumah masing-masing.
          Pagi yang cerah, burung-burung berkicau dengan merdu, embun membasahi bumi. Sungguh nyaman suasana waktu itu.

          Semua warga berangkat menuju batu lobang dengan berjalan kaki berbondong-bondong dikawal oleh Belanda.

          Siang itu puluhan warga meninggal terkena penyakit muntah darah. Tidak jelas penyebabnya, namun Belanda tidak peduli.

          Warga yang meninggal memiliki keluarga, mayatnya dibiarkan busuk hingga menunggu waktu pulang baru dimandikan dan disemayamkan.

          Malam yang mendung sepertinya mau hujan, terdengar bunyi petir yang mengerikan.

          Namun tidak meluluhkan hati para warga untuk berkumpul. Mereka berkumpul di bawah kaki gunung Santiong.

          Mereka mulai membahas nasib mereka dan harus bertindak bagaimana pada kondisi seperti ini.

          Poltak sebagai pemimpin rapat dan Acun sebagai menjelaskan masalah dan mengajak warga untuk bersama-sama mencari solusi.

Poltak
:
Saudara-saudaraku setanah air, sudah sepantasnya kita berubah dan tidak begini terus menurut pada Belanda.
Acun
:
Kita harus menyusun siasat untuk membunuh dan membumi hanguskan Belanda.
Warga
:
Setuju......Setuju.....
Poltak
:
Mulai besok kita mulai membuat senjata bambu runcing. Kita kumpulkan selama seminggu dan kita buktikan bahwa kita bisa
Salah Seorang Warga
:
Bagaimana kalau ada diantara kita yang terbunuh ?
Acun
:
Itu sudah resiko, kita pasti bisa, asal semangat kita kuat
Poltak
:
Mari kita satukan tekad tumpas Belanda
Hidup warga Sibolga

Seminggu pun berlalu tanpa terasa. Tibalah waktu untuk menghabiskan segala luka yang telah ada. Kini tiba saatnya bagi bangsa Indonesia untuk berubah.

Mereka berkumpul pagi hari dan berusaha membagi 5 kelompok untuk mengepung Belanda.

Belanda telah mengetahui siasat mereka. Belanda telah menyiapkan pasukan yang bersenjatakan bedil dan bom yang telah dirakit.
Pada penumpasan itu berlangsung panas. Banyak warga yang meninggal. Suasana huru-hara, bumi serasa gelap, dan langit seperti menggoncang bumi.

”et.............bus..............tus............dor.....” lama bunyi suara bedil Belanda yang menembus dada para pejuang Kota Sibolga.

Sementara itu Poltak dan Acun  bekerja sama untuk membongkar gudang Belanda. Segala jenis stok makanan dan emas habis diangkat mereka.

Mereka menyimpan semua stok makanan di bawah gunung Santiong. Mereka hanya mengambil secukupnya yang mereka makan.

Belanda menang dalam pertumpasan darah yang menyedihkan  itu. Belanda membiarkan mayat busuk dan tergeletak begitu saja dipinggir laut.

Selanjutnya Belanda mengejar otak dari pertikaian ini. Belanda mengetahi Acun dan Poltak yang mengumpulkan warga untuk memberontak, mereka juga yang membongkar gudang Belanda.

Belanda terus mencari Acun dan Poltak, suasana menjadi gencar. Rumah demi rumah digeledah oleh Belanda. Acun dan Poltak melarikan diri ke lereng gunung untuk bersembunyi sementara.

Tiba-tiba terdengar kabar bahwa keluarga Acun telah habis dibunuh oleh Belanda, kelaurga Poltak juga telah dicuri dan ditenggelamkan ke laut.

Hal ini membuat hati Acun dan Poltak gelisah. Mereka sangat marah terhadap kelakuan Belanda terhadap keluarga mereka, ”Akan kubunuh semua Belanda!”. Kata Acun teriak.

Acun dan Poltak kini menjadi buronan Belanda, mereka mulai membunuh militer Belanda satu per satu. Walaupun mereka cacat tetapi mereka mempunyai badan yang kuat dan pemikiran yang matang. Selain membunuh militer Belanda, sekali sebulan mereka mampu membongkar gudang stok beras Belanda dan dibagi-bagikan kepada masyarakat Sibolga yang kelaparan.

Dua pendekar sosial ini cukup terkenal dengan ide dan kerusuhan di mana-mana yang mengakibatkan agresi militer Belanda kesusahan. Banyak siasat Belanda untuk menangkap mereka dan berbagai cara telah dilakukan Belanda untuk menjebak mereka, namun semuanya gagal karena memiliki insting yang kuat serta selalu waspada.

Belanda semakin kesal terhadap kelakuan kedua pemuda tersebut, pemuda tersebut juga membentuk berbagai golongan untuk memberontak Belanda. Beberapa daerah kekuasaan Belanda menjadi kacau akibat ulah mereka.

Belanda bersiasat akan membunuh semua pejuang Sibolga satu per satu dengan menjebak mereka. Mereka meminta bantuan petinggi Belanda yang bernama Vander. Vander terkenal sangat kejam karena ia banyak menghabisi pemberontak diberbagai daerah denga ide-idenya yang licik.

Banyak pembela kebenaran yang telah wafat karena dihabisi secara kejam, begitu kedatangan Vander disambut dengan hangat dan ramai oleh para pemimpin militer Belanda. Namun Vander langsung memukul para petinggi – petinggi militer Belanda di Sibolga, beberapa prajurit yang mencoba memberontak langsung ditembak mati oleh Vander. Kemudian ia berkata ”Dasar lemah, sungguh tida becus membunuh orang cacat saja tidak bisa”.

Kemudian Vander memimpin militer Belanda di Sibolga ketika memantau pembuatan batu lobang, sesuka hatinya langsung menembak pekerja yang sedang beristirahat. Vander hanya beralasan orang malas pantas mati.

Baru seminggu di Sibolga banyak para pejuang yang telah berhasil ditaklukkan Vander. Sebutsaja Cut Nudin, Husein Situmpal, mereka adalah pejuang yang gagah berani membela kota Sibolga bersama Acun dan Poltak. Berbagai taktik licik yang telah digunakan Vander untuk menaklukkan para pejuang tersebut, dia sering menggunakan taktik adu domba, duel dengan tangan kosong namun menggunakan senjata secara tersembunyi, mencari kelemahan lawan dan memafaatkannya.

Ketika Vander sebagai pemimpin militer ia bertindak seperti tangan besi. Bumi serasa gelap dan mau jatuh, pajak penjualan dan tahan dinaikkan dengan alasan keamanan, banyak pedagang yang menjerit karena kesusahan. Ketika Vander mengadakan patroli ia sering menembak warga yang tidak tunduk untuk menyembahnya. Segala kekuasaan Belanda di pegang penuh oleh Vander dan tidak memikirkan hati rakyat Indonesia.

Acun dan Poltak masih tetap melakukan pemberontakan secara perlahan, mereka tetap tenang namun mereka meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi Vander.

Malam ini Acun dan Poltak serta teman yang lain akan merampok lagi, membongkar gedung beras Belanda dan membagi-bagi beras tersebut kepada masyarakat yang kelaparan.

Malam itu udara serasa dingin namun peluh membasahi mereka. Semangat juang mereka sangat tinggi. Kini mereka mulai memasuki area gudang beras Belanda. Kali ini berbeda dari hari berikutnya, kali ini gudang tersebut dikawal oleh 10 orang tentara militer, berbeda dengan malam-malam sebelumnya hanya di kawal oleh dua orang saja.

”Apa yang harus kita lakukan Cun?”. Kata Poltak berbisik! Ue ada bawa jarum racun lima buah, Lu ada bawa apa?”. Balas Pontak sambil mengeluarkan jarum racun dari sebuah bambu kecil. ”Aku ada bawa belati dan teman-teman yang lain membawa kapak!”. Jawab Poltak.

”Kalau begitu kita bagi tugas!” kata Acun sambil memanjat pohon besar.

Acun mulai menembakkan jarum beracun dengan cepat dan tepat menuju leher kelima pasukan Belanda ” Stt......tur...tus....stt..”. Dalam seketika kelima pasukan tersebut terjatuh tak berdaya. Pasukan Belanda yang lain heran melihat teman mereka jatuh secara tiba-tiba mereka langsung memeriksa teman mereka, Poltak dan teman-teman yang lain langsung menyerbu dan menghabisi ke lima pasukan yang masih ada. Kini semua pasukan pun telah habis terbunuh.

Darah bercucuran ditanah dan Polta mengedipkan matanya kepada Acun pertanda misi berhasil.

Mereka membuka gudang beras dan mulai mengangkat beras-beras yang tersedia di gudang. Ketika mereka sedang asyik mengeluarkan beras, tiba-tiba suasana berubah menjadi tegang karena mereka telah dikepung pasukan agresi militer Belanda yang dipimpin oleh Vander.

Peperangan pun tidak terhindarkan lagi, senjata bedil melawan kapak dan bambu runcing menghasilkan banyak pertumpahan darah. Teman-teman Acun berkata ”Acun dan Poltak berlari saja dan bawa pulang beras-beras itu kepada keluarga mereka”.

Poltak dan Acun pun pergi berlari secepat mungkin membawa 2 karung beras dan teman-teman yang lain berusaha menghalangi Belanda.

Poltak dan Acun kembali kekampung dan memberikan beras. Mereka tidak mengetahui nasib dari teman-teman mereka. Mereka turut bersedih karena pasti banyak teman-teman mereka yang meninggal dalam peristiwa ini.
Setelah peristiwa ini penggeledahan dilakukan disetiap tempat dan disetiap pos dijaga oleh banyak tentara Belanda. Acun dan Poltak menjadi buronan dan selalu dikejar oleh Vander keberadaannya, kini mereka tidak dapat berbuat banyak.

Acun dan Poltak membuat siasat untuk membunuh Vander dan merubah kondisi Kota Sibolga  menjadi tenteram. Mereka mengirimkan surat kepada Vander, bahwa sanya akan menyerahkan diri asal Vander bersedia menjamin kesejahteraan masyarakat Kota Sibolga.

Ketika surat iti dibaca oleh Vander dan ia menyetujuinya. Poltak dan Acun mengundang Vander untuk menjemput mereka di kaki gunung Santeong. Vander pergi berserta tentara militer Belanda yang lain.

Dari kejauhan acun telah menyiapkan panah racun untuk ditancapkan tepat ditubuh Vander. Ketika Vander datang ia berteriak “Aku sudah datang akan kuturuti semua maumu!”. Dalam  sekejam Acun langsung melesetkan panahnya dan tepat menembus jantung Vander. Suasana berubah menjadi heboh tentara militer Belanda ke arah gunung tanpa mengetahui posisi mereka secara jelas.

Acun dan Poltak meninggalkan Kota Sibolga dengan menelusuri lereng gunung Santeong, mereka terus berlari secepat mungkin dengan bercucuran peluh dan bermandikan air hujan. Meskipun mereka cacat namum mereka saling membantu untuk melewati rintangan hutan dan gunung.  
Hingga suatu ketika tibalah mereka pada sebuah tempat yang airnya sungguh deras penuh dengan batu besar dan airnya yang cukup dalam. Sungai tersebut kelihatan tidak berujung, namun rintangan ini harus tetap dilalui mereka untuk meninggalkan Kota Sibolga lebih jauh.

Mereka pun mulai membuat sebuah rakit dari bambu untuk menyeberangi sungai. Setelah beberapa hari membuat rakit, rakitan pun selesai. Mereka mencoba untuk berlayar namun rakitan tersebut tidak bisa melawan arus yang begitu deras. Berulang kali mereka terjatuh ke sungai dan hampir kehilangan nyawa mereka.

Dengan tekat dan kemauan yang kuat, mereka tetap berusaha untuk menyeberangi sungai tersebut. Tiba-tiba Acun pun mempunyai ide untuk membuat sebuah gala sebagai pendorong rakit tersebut. ”Bagaimana kalau kita menggunakan gala untuk mendorong rakit ini Poltak?” tanya Acun kepada Poltak. ”Itu ide yang bagus!” sahut Poltak. Poltak pun bergegas mencari sebuah kayu yang bisa digunakan untuk mendorong rakit tersebut. Tidak beberapa lama kemudian dia membawa sebuah bambu yang akan digunakan untuk mendorong rakit tersebut.

Dengan bersusah payah akhirnya mereka pun berhasil menyeberangi sungai, mereka pun melanjutkan perjalanan melewati hutan-hutan dan bukit. ”Poltak kita istirahat dulu sebentar, kaki ku rasanya sudah tidak berdaya lagi untuk melangkah!” sahut Acun! Poltak pun menghentikan langkahnya dan mencari tempat untuk beristirahat.
Mereka pun beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang sangat rindang. Dengan nafas yang terengah-engah dan dengan perut yang dalam keadaan sangat lapar karena mereka belum makan dalam beberapa hari terakhir ini. Tetapi semangat juang yang tinggi mereka berdua bisa menghadapi segala rintangan itu.

Tiba-tiba mereka berdua tertidur sangat pulas karena telah kelelahan di bawah pohon yang rindang tersebut. Ketika sedang tertidur pulas, tiba-tiba terasa sesuatu yang dingin, kesat melintas di paha Acun. Dia pun terbangun dari tidurnya dan berteriak ” Awas ular....!” Poltak pun terbangun dan melompat sejauh mungkin ketika mendengar jeritan Acun. Dalam seketika Poltak mengambil ular itu dari paha Acun dan menjatuhkannya ke tanah kemudian membunuh ular tersebut dengan belati yang ia punya.

” Bagaimana kalau kita membakar ular ini, Poltak?” tanya Acun.  ”Untuk apa?” jawab Poltak spontan. ”Ya, untuk dimakanlah!” sahut Acun. ” Ok...Ok..!” kata Poltak, ”Ue buat api, Lu yang kuliti ular tersebut!”.

Mereka mengerjakan tugas masing-masing secepat mungkin memanggang dan melahap ular tersebut karena keduanya sudah sangat lapar.

Tidak terasa matahari mulai tenggelam dan terdengar kicauan yang merdu hendak pulang ke sangkarnya. Mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan karena matahari sudah mulai tenggelam. Mereka pun berusaha mencari tempat yang nyaman untuk bersembunyi sebelum hari gelap. Hingga mereka tiba di sebuah bukit berbaris yang panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah goa dibalik bukit.

Sementara itu, masyarakat Kota Sibolga cemas dengan kepergian pahlawan tersebut. Kematian Vander membuat Belanda marah terhadap Indonesia, sehingga Acun dan Poltak dicari oleh Belanda secara gencar. Seluruh rumah di Kota Sibolga di razia, penggeledahan terjadi disetiap tempat dan Belanda meningkatkan tempat-tempat penjagaan.

Kekacauan terjadi dimana-mana, banyak wanita muda yang diajak oleh Belanda untuk dipekerjakan sebagai asisten Belanda namun wanita-wanita tersebut diperkosa dan dinikahi oleh Belanda. Banyak pula anak-anak kecil yang menangis karena kehilangan orang tua mereka.

Hingga kini pembuatan batu lobang masih tetap berlanjut, banyak korban yang meninggal dunia karena kelelahan dan tidak diberi makan. Jeritan tangis warga Kota Sibolga kini tiada berujung, karena setelah kematian Vander, Belanda mendatangkan seorang pemimpin baru yang menguasai wilayah Kota Sibolga.


Dengan kedatangan pemimpin militer Belanda yang baru yang ternyata lebih kejam dan agresif dari pada Vander. Dia pun bertekad menyelesaikan pembuatan batu lobang. Dia mendatangkan para pekerja dari daerah lain seperti Tarutung, Siborong-Borong, Balige, Porsea, Barus, dan berbagai daerah lainnya yang menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Pemimpin Militer Belanda yang bernama Van Kolf memimpin dengan tangan besi, memaksa para pekerja untuk lebih giat bekerja dengan cara menyambuk para pekerja yang sedang beristirahat. Van Kolf juga memerintahkan para pekerja untuk bekerja siang dan malam harinya. Tidak jarang ini mengakibatkan banyak pekerja yang meninggal karena kelelahan dan dibuang begitu saja ke dalam jurang.

Namun tak satu pun dari mereka yang berani bertindak melawan kekejaman Van Kolf, karena mereka takut di tembak mati oleh militer Belanda. Van Kolf juga menerapkan prinsip segala hasil bumi masyarakat Sibolga menjadi hak milik Belanda.

Dengan tangan besinya Van Kolf pun berhasil memaksa pekerja menyelesaikan pembuatan batu lobang. Dan Van Kolf juga berencana mempekerjakan para pekerja untuk mengerjakan pembuatan jalan di daerah lain kekuasaan Belanda.

Masyarakat Kota Sibolga merasa tertindas dan tersiksa dengan tingkah laku militer Belanda dibawah pimpinan Van Kolf.
Masyarakat  mendengar kabar bahwasanya Acun dan Poltak masih hidup dan tinggal di  perbukitan. Pada malam hari yang sunyi senyap di bawah sinar rembulan yang terang, masyarakat Kota Sibolga berkumpul dan bermusyawarah di lereng perbukitan Santiong untuk membahas nasib mereka.

Mereka  mengambil keputusan untuk memberontak melawan militer Belanda dan mengajak kembali Acun dan Poltak untuk bertempur bersama mereka. Akhirnya mereka mengutus salah seorang masyarakat Kota Sibolga untuk menjumpai Acun dan Poltak ke lereng perbukitan untuk membantu mengatur siasat dalam rencana pemberontakan Belanda.

Salah seorang warga yang bernama Udin bersedia pergi untuk menemui Acun  dan Poltak untuk meminta pertolongan mereka. Dengan bersusah payah Udin pun menemukan mereka, lalu dia menceritakan kondisi tegang yang sedang terjadi.

Udin
:
Syukurlah kalian masih hidup!
(Dengan suara ngos-ngosan dan peluh membasahi wajahnya)
Acun
:
Kamu siapa ?
Kenapa kamu mengenali kami?
Udin
:
Aku masyarakat Kota Sibolga.
Kalian Acun dan Poltak ?
Aku diutus warga Kota Sibolga untuk menemui kalian!
Poltak
:
Ada apa sebenarnya dengan Kota Sibolga ?
Udin
:
Kota Sibolga kini semakin gawat, setelah Vander meninggal Belanda mengutus pemimpin baru yang lebih kejam dan agresif! Namanya Van Kolf. Dalam beberapa waktu dia dapat menyelesaikan pembuatan batu lobang. Banyak nyawa yang telah dibunuh oleh tangan besinya.
Acun
:
Lalu tujuan kamu datang menemui kami apa?
Udin
:
Kami sudah lelah dan capek disiksa oleh Militer Belanda. Kami telah bersatu dan akan melakukan pemberontakan. Oleh karena itu, kami membutuhkan bantuan kalian berdua dalam menyusun siasat perang.
Acun dan Poltak pun memahami kondisi yang telah terjadi, sehingga meningkatkan semangat juang mereka kembali.
Acun
:
Okelah....! Ue bersedia! Bagaimana dengan kau Poltak?
Poltak
:
Aku mau! Ayo kita habisi mereka.

Acun dan Poltak mengatur siasat dan taktik perang terlebih dahulu sebelum berangkat menuju Kota Sibolga.  Keesokan harinya mereka bergegas berangkat menuju Kota Sibolga. Setelah menempuh perjalanan yang panjang mereka tiba di Kota Sibolga pada malam hari.

Acun dan Poltak disambut meriah oleh masyarakat Kota Sibolga. Dan mereka disembunyikan di ruang bawah tanah yang telah digali masyarakat.
Acun dan Poltak pun menyampaikan siasat perang yang akan mereka lakukan untuk melawan Belanda. Mereka menggunakan taktik gerilya. Anak-anak dan orang tua diasingkan ke ruang bawah tanah, sehingga Sibolga kosong dan sunyi senyap.

Pada malam harinya ketika para tentara Militer Belanda tertidur pulas. Mereka menculik satu per satu tentara Belanda dan membunuhnya.

Ketika itu Van Kolf yang sedang menulis laporan kekusaannya kepada atasan mereka di Negeri Belanda tidak tertidur. Dia mendengar suara jeritan, dan dia pun bergegas keluar membawa bedilnya seraya membangunkan para tentara militer Belanda yang sedang tertidur.

Van Kolf pun mengetahui serangan yang dilakukan oleh masyarakat Kota Sibolga, dan dia mengarahkan pasukannya untuk menyerang para pemberontak.

Acun dan Poltak memerintahkan kepada seluruh masyarakat yang turut berjuang untuk segera lari menuju ke gunung.

Lalu mereka berlari menuju ke gunung dan tentara Belanda  terus mengejar dengan sangat gesit. Suasana semakin genting dan gemuruh ketika bedil-bedil tentara Belanda di arahkan dan ditembakkan terhadap pemberontak tersebut.
Ketika memasuki gunung banyak tentara Belanda yang meninggal karena memasuki perangkap yang dibuat oleh Acun dan Poltak. Namun karena militer Belanda yang cukup banyak, perangkap tersebut tidak cukup untuk menahan mereka. Pertempuran pun terus berlanjut.

Acun dan Poltak beserta kawan-kawan terus berlari sejauh mungkin dan dikejar oleh tentara Belanda hingga sampai pada sungai. Poltak melihat kebelakang Belanda masih terus mengejar. Dengan suara yang kuat Poltak berteriak “Lompat....!” Mereka langsung melompat semuanya ke dalam sungai yang alirannya yang sangat deras.

Namun Belanda tetap mengejar dan mereka juga melompat ke dalam sungai. Pertempuran terus terjadi hingga kelereng bukit merah. Sesampainya di lereng bukit merah pertempuran terjadi lagi.

Pada saat itu Poltak berusaha menghadang Belanda dan mereka berkelahi dengan sengit. Sedangkan Acun berlawanan dengan Van Kolf, dan pertarunganpun sangat sengit.
Dengan jumlah tentara Belanda yang begitu banyak sehingga mereka pun kewalahan untuk menahan tentara-tentara Belanda tersebut. Tiba-tiba Poltak merasa dingin dan pedih di bagian bahu kanannya. Ternyata darah segar telah mengalir dari bahu kanannya. Sebuah peluru telah menembus bahunya. Sebutir peluru melesat dan mengenai tepat pada dadanya, seorang tentara Belanda membidiknya dengan tepat. Poltak pun tersungkur ke tanah. “Poltakk..........! Teriak Acun. Acun tidak tahan melihat Poltak terkapar ke tanah bersimbah darah.

Sementara itu Van Kolf telah berdiri tepat di hadapan Acun serta mengarahkan bedil ke arah Acun. “Ternyata kamu yang selama ini menyusahkan kami!” kata Van Kolf serta berjalan mendekati Acun. Acun menatap Van Kolf dengan rasa benci dan marah.

Tanpa di duga-duga oleh Van Kolf Acun melemparkan bambu runcing yang sedari tadi dipegangnya dan menancap tepat di dada Van Kolf. Van Kolf pun mengerang kesakitan dan terjatuh ke tanah dengan menahan rasa sakit. Sebelum terjatuh dan menghembuskan nafas terakhirnya Van Kolf sempat menarik pelatuk bedilnya “Doorr....!” “Ahhh........!” Acun berteriak dengan sangat histeris. Ternyata tembakan Van Kolf tepat mengenai dada Acun. Darah segarpun keluar dan muncrat dari dada Acun. Acun terkapar dan terjatuh bersimbah darah, dan menghembuskan nafas terakhirnya.

Melihat pemimpin mereka telah meninggal tentara Belanda pun ketakutan dan  berlari meninggalkan para pejuang Sibolga. Para militer Belanda berlari ketakutan dan mereka pun pulang ke asalnya.

Masyarakat kota Sibolga pun bersorak kegirangan atas keberhasilan mereka mengusir tentara Belanda tersebut.


Masyarakat Kota Sibolga sangat menghargai keberanian dan semangat juang Acun dan Poltak. Kemudian mereka menandainya dengan meletakkan dua batu besar dan menguburkan Acun dan Poltak di batu tersebut.

Pada tahun 1965 orang China yang berdatangan ke Kota Sibolga mencari nenek moyang mereka yang zaman dahulu pernah membela Kota Sibolga dan dikubur di balik lereng gunung.

Mereka melakukan jiarah dengan membawa dupa dan buah-buahan yang dipersembahkan kepada nenek moyangnya.

Seminggu kemudian mereka menuai hasil dengan berhasilnya kapal ikan laut mereka dan mendapat keuntungan yang berlipat ganda.

Hingga sekarang jika ada orang sakit secara tiba-tiba dan tidak dapat disembukan oleh dokter, mereka membawanya jiarah ke makam tersebut dan mereka sembuh secara mukjijat. Tempatnya berada di KM. 15 dari Kota Sibolga

Pada tahun 29 Agustus 1995 kuburan tersebut dibangun menjadi bangunan batu dan terkenal sebagai Topekong penjaga tanah.

Hingga kini masyarakat setempat percaya bahwa kuburan batu tersebut sangat sakral dan membawa rejeki bagi mereka semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar