BAB I
PENDAHULUAN
Ferdinand Lumbantobing atau sering pula disingkat sebagai FL Tobing (lahir di Sibuluan, Sibolga, Sumatera Utara, 19 Februari 1899 – meninggal di Jakarta, 7 Oktober 1962 pada umur 63 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatra Utara.
Ia lulus sekolah dokter STOVIA pada tahun 1924 dan bekerja di CBZ RSCM, Jakarta. Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi Syu Sangi Kai' (DPD) Tapanuli dan juga sebagai Chuo Sangi In (DPP).
Setelah kemerdekaan ia diangkat menjabat beberapa jabatan penting seperti Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan (ad interim). Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara. Beliau dimakamkan di Desa Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DR. Ferdinand Lumban Tobing
Beliau adalah pahlawan nasional, lahir di Sibuluan, Sibolga, pada tanggal 19 Februari 1899. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Depok, Bogor, ia melanjutkan pelajaran ke STOVlA (Sekolah Dokter) di Jakarta dan tamat pada tahun 1924. Setelah itu ia bekerja sebagai dokter di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo) Jakarta bagian penyakit menular. Dari situ ia dipindahkan ke Tenggarong (Kalimantan Timur), kemudian ke Surabaya sampai tahun 1935. Sesudah itu, ia bertugas di Tapanuli, mula-mula di Padang Sidempuan, kemudian di Sibolga.
Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat menjadi dokter pengawas kesehatan romusya. Dengan perasaan sedih ia menyaksikan bagaimana sengsaranya nasib para romusya yang dipaksa membuat benteng di Teluk Sibolga. Karena itu, ia melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Akibatnya, ia dicurigai dan termasuk dalam daftar orang terpelajar Tapanuli yang akan dibunuh oleh Jepang. Ia terhindar dari bahaya maut sebab berhasil menyelamatkan nyawa seorang Tentara Jepang yang jatuh dari kendaraan.
Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli di samping anggota Cuo Sangi In. Pada masa awal Revolusi ia merupakan tokoh penting di Tapanuli. Pada bulan Oktober 1945 ia diangkat menjadi Residen Tapanuli. Sebagai Residen, ia menghadapi saat-saat sulit ketika daerah Tapanuli dilanda pertentangan bersenjata antara sesama pasukan RI yang datang dari Sumatera Timur setelah daerah itu jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda. Tetapi Tobing berpendirian tegas dan tidak mudah digertak. Dalam Agresi Militer II Belanda, ia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. la memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditawari untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara, tetapi tawaran itu ditolaknya. Dalam Kabinet Ali I ia diangkat menjadi Menteri Penerangan Jabatan lainnya Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan terakhir Menteri Negara Urusan Transmigrasi. la meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1962.
B. Dokter Pejuang Masa Revolusi
Sebagai pemimpin militer dengan jabatan Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan pada awal revolusi, dr. Ferdinand Lumban Tobing turun memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan.
Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang pejuang kemerdekaan yang berlatar belakang profesi dokter. Ketidaksenangannya terhadap kolonial yang sudah lama tersimpan dalam hati Ferdinand mencapai puncaknya tatkala Ferdinand melihat penderitaan saudara sebangsanya diperlakukan tidak manusiawi di zaman kerja paksa (romusha) yang diberlakukan pemerintah pendudukan Jepang. Saat itu ia protes terhadap pemerintah pendudukan Jepang, protes yang mengakibatkan dirinya menjadi target pembunuhan tentara Jepang.
Dalam sejarah perjuangannya, putra bangsa kelahiran Tapanuli ini lebih banyak tercatat pada zaman pendudukan Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan, yakni perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda merebut kembali Republik Indonesia, peristiwa yang lebih sering dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda.
Ferdinand Lumban Tobing dilahirkan di Sibuluan, Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 19 Februari 1899. Namun, berhubung keluarganya pindah ke Pulau Jawa, masa remaja pun dilalui Ferdinand di Pulau Jawa. Bahkan, pendidikan dasar pun dijalani dan diselesaikannya di Depok, Bogor, Jawa Barat.
Selepas sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan Sekolah Dokter di Jakarta yang di zaman kolonial Belanda benama STOVIA. Setamat dari STOVIA pada tahun 1924, ia bekerja sebagai dokter bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ, sekarang bernama Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Selama menjalani profesi sebagai dokter, Ferdinand sering dipindah-pindah. Beberapa tahun bekerja di RSCM, ia kemudian dipindahkan ke Tenggarong, Kalimantan Timur. Dari Tenggarong ia kemudian dipindah ke Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, beliau menjalani tugas sampai tahun 1935 sebelum kemudian dipindahkan lagi ke daerah Tapanuli, tanah kelahirannya. Di daerah Tapanuli sendiri beliau pertama-tama ditempatkan di Padang Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga.
Bersamaan saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II sedang berkobar. Di Indonesia sendiri, pasukan pendudukan Belanda mengalami kekalahan dari pasukan Jepang. Sehingga, bangsa Indonesia yang tadinya merupakan koloni Belanda kemudian digantikan oleh Jepang.
Sesuai pengakuan Jepang sebelumnya, sebagai sesama Asia mereka datang menolong bangsa Indonesia mengusir pasukan Belanda yang notabene berkulit putih alias Eropa, maka di awal kemenangan Jepang, rakyat Indonesia juga merasa senang dengan kemenangan tersebut dan berpikir telah terbebas dari penjajahan. Namun kemerdekaan yang diimpikan rupanya hanya sebuah fatamorgana. Ucapan Jepang hanyalah omong kosong.
Jepang ternyata tidak berbeda dengan bangsa Belanda maupun bangsa imperialis lainnya, ingin menguasai bangsa Indonesia. Bahkan, kekejaman tentara Jepang melebihi tentara Belanda. Semua pria dewasa diwajibkan romusha, yakni kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan jalan, membuat benteng dan lain-lain tanpa diupah. Hasil pertanian dan ternak rakyat dirampas dengan paksa tanpa ganti rugi. Barang siapa yang tidak menuruti perintah dihukum penjara, kerja paksa, dibuang, bahkan dibunuh atau hukuman mati.
Di era pendudukan Jepang ini, dokter Ferdinand Lumban Tobing bertugas sebagai dokter pengawas kesehatan romusha. Karena itu, ia menyaksikan dengan jelas bagaimana para romusha (pekerja paksa) - yang ketika itu membuat benteng di Teluk Sibolga - diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Dengan perasaan sedih beliau seakan dipaksa menonton kesengsaraan yang dialami saudara-saudara sebangsanya sendiri. Hatinya tidak sanggup menerima. Beliau pun melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Namun akibatnya, beliau dicurigai dan menjadi salah seorang terpelajar Tapanuli yang menjadi target yang akan dibunuh Jepang.
Sebagai dokter, beliau seorang profesional murni. Hatinya tidak sanggup membiarkan orang yang sedang membutuhkan keahliannya menderita, sekalipun itu orang yang tidak disukainya. Maka tatkala seorang tentara Jepang jatuh dari kendaraan, dokter Ferdinand ini pun menyelamatkan nyawa tentara tersebut dengan mengobatinya semaksimal mungkin hingga sembuh. Melihat pertolongan yang diberikannya, tentara Jepang pun mengurungkan niat mengejar dan membunuh Ferdinand.
Di pentas politik, dokter Ferdinand termasuk seorang yang berhasil. Pada tahun 1943 saat masih di zaman pendudukan Jepang, beliau sudah diangkat menjadi Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli, di samping sebagai anggota Cuo Sangi In.
Pada tahun 1945, sejarah dunia tercatat, Perang Dunia kedua berakhir. Jepang menyerah kepada pasukan sekutu. Dengan demikian, pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia pun dipaksa meninggalkan tanah Indonesia. Kesempatan emas tersebut tidak disia-siakan para pemimpin bangsa Indonesia, kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Di awal kemerdekaan ini, Ferdinand Lumban Tobing diangkat jadi Residen Tapanuli, sejak bulan Oktober 1945.
Namun sebagaimana tercatat dalam sejarah, Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut. Mereka masih berusaha merebut kembali Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah jajahannya dengan melancarkan serangan-serangan militer yang lebih dikenal dengan istilah Agresi Militer I dan II Belanda.
Pada awal revolusi inilah perjuangan Ferdinand semakin nyata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri yang sangat dicintainya. Sebagai seorang Residen, beliau ketika itu benar-benar menghadapi suatu situasi yang sangat sulit. Beliau harus menyaksikan dan membiarkan putra-putra daerah keresidenannya, Tapanuli berperang bersabung nyawa melawan saudara sebangsanya sendiri dari Sumatera Timur. Ketika itu, daerah Sumatera Timur yang sebelumnya telah jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda, maju memerangi Tapanuli.
Kecintaan akan kemerdekaan negerinya ditambah pendirian yang teguh, tegas dan tak mudah digertak menjadi modal perjuangan Ferdinand Lumban Tobing. Dengan semangat perjuangan yang berkobar dan tak takut mati, maka pada Agresi Militer II Belanda, dengan tanpa ragu sedikitpun Ferdinand bersedia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. Dan sebagai pemimpin militer, ia pun harus turun di barisan depan, memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
Perjuangan ternyata tidak sia-sia, berkat perjuangan seluruh bangsa Indonesia di pusat maupun di daerah, baik yang berjuang di bidang politik, diplomatik, pendidikan, angkat senjata maupun cara lainnya, akhirnya kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh dunia internasional. Pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, dr. Ferdinand Lumban Tobing ditawari menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara tapi ditolak oleh Ferdinand. Namun pada Kabinet Ali I (Juli 1953-Juli 1955) ia bersedia menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan (ad interim). Kemudian, ia juga pernah menjadi Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah, dan terakhir menjabat Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
Pada usia 63 tahun, tepatnya pada 7 Oktober 1962, beliau meninggal dunia di Jakarta. Sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, beliau layaknya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi atas permintaan keluarga, jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya di Kolang, Sibolga.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing dikagumi dan dikenang banyak orang karena perhatiannya yang sangat besar terhadap orang kecil, seperti para romusha di zaman pendudukan Jepang. Dalam membela dan berbuat baik kepada orang kecil tersebut, terlihat bahwa dr Ferdinand tanpa pamrih.
Mengingat jasa-jasa dr. Ferdinand Lumban Tobing dalam perjuangan kemerdekaan, maka atas nama negara, pemerintah menganugerahkan gelar kehormatan kepada beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut disahkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.361 Tahun 1962, tanggal 17 Nopember 1962.
BAB III
KESIMPULAN
Pada awal revolusi inilah perjuangan Ferdinand semakin nyata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri yang sangat dicintainya. Sebagai seorang Residen, beliau ketika itu benar-benar menghadapi suatu situasi yang sangat sulit. Beliau harus menyaksikan dan membiarkan putra-putra daerah keresidenannya, Tapanuli berperang bersabung nyawa melawan saudara sebangsanya sendiri dari Sumatera Timur. Ketika itu, daerah Sumatera Timur yang sebelumnya telah jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda, maju memerangi Tapanuli.
Kecintaan akan kemerdekaan negerinya ditambah pendirian yang teguh, tegas dan tak mudah digertak menjadi modal perjuangan Ferdinand Lumban Tobing. Dengan semangat perjuangan yang berkobar dan tak takut mati, maka pada Agresi Militer II Belanda, dengan tanpa ragu sedikitpun Ferdinand bersedia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. Dan sebagai pemimpin militer, ia pun harus turun di barisan depan, memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar